Apakah dunia akan resesi?

Wednesday, January 10, 2007

Birokrasi Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Birokrasi Hambat Pertumbuhan Ekonomi
[20/12/06]

Meski secara makro, ekonomi dan keuangan menunjukkan hasil yang positif. Ternyata ada sektor lain yang menjadi tumbal. Stagnasi birokrasi dituding menjadi biang keroknya.

Sampai dengan saat ini, tujuan pembangunan nasional, yang indikatornya antara lain adalah kemiskinan dan pengangguran, dinilai gagal. Demikian diungkapkan oleh Didik J Rachbini, Ketua Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, akhir pekan lalu.

Target pemerintah yang ingin menurunkan tingkat angka pengangguran dari 9,6 % menjadi 6,3% gagal terpenuhi, dan bahkan masih relatif tinggi. Sedangkan kemiskinan, jumlahnya bahkan meningkat mencapai 40 juta jiwa penduduk.

Kendati demikian, dilihat dari kondisi makro ekonomi dan keuangan, Didik mengakui kinerja pemerintahan dapat dikatakan bagus. �Dapat dinilai berhasil dengan indikator rendahnya angka inflasi dan stabilnya nilai tukar, ujar Didik.

Ia kemudian menggambarkan bahwa inflasi per Agustus lalu mampu ditekan hingga 3,6 % dari 17% pada tahun lalu. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar rata-rata mencapai Rp 9090, sementara pada tahun lalu mencapai Rp 9700.

Namun dibalik suksesnya kondisi makro ekonomi dan keuangan, menurut Didik, ada indikator kritis lain yang juga harus dicermati. �Ternyata di balik kesuksesan itu, pemerintah menggunakan instrumen suku bunga untuk menekan laju inflasi dan menjaga kestabilan mata uang. Ia menambahkan Dalam rumus umum, kalau suku bunga sudah digunakan untuk mengendalikan moneter, maka sektor perdagangan, industri, investasi dan pembangunan akan menjadi korban.

Akibatnya, lanjut Didik modal menjadi mahal, perbankan enggan mengucurkan kredit. Lebih jauh, Didik mengatakan akibatnya berujung pada stagnan-nya sektor riil seperti perdagangan, investasi dan pembangunan. Tahun ini pertumbuhan kredit hanya 1% saja� ia mencontohkan.

Contoh lain menurutnya, pada tahun lalu pemerintah mengalokasikan Rp 90 Triliun untuk pembangunan langsung, seperti jalan dan jembatan. �Tapi hanya direalisasikan sebesar 60 triliun rupiah saja�. Sedangkan pada tahun ini dialokasikan sebesar Rp 107 Triliun, tapi baru direalisasikan sebesar Rp 30 triliun.

Menurut Didik, ketidak efketifan anggaran ini menunjukkan manajemen birokrasi pemerintahan yang salah kaprah. Birokrasi belum bekerja secara efektif, �Sudah ada uangnya, ada proyeknya, ada jalan untuk mengembangkan sektor riil, tapi kok tidak direalisasikan.

Implikasi dari salah kaprahnya manajemen birokrasi ini adalah meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia yang kemudian memiliki efek domino terhadap meroketnya angka kemiskinan di Indonesia.

Salah satu masalah lain yang menjadi �PR� pemerintah adalah investasi. �Karena investasi kita turun. Investasi asing turun 47 %. Sementara dari dalam negeri, para investor menurunkan investasinya dari tahun lalu sebesar Rp 196 triliun menjadi Rp 57 triliun cetusnya.

Bank Indonesia adalah pihak yang oleh Didik dituding paling bertanggung jawab atas matinya� sektor riil ini. �Di BI (Bank Indonesia), ada Rp 200 Triliun SBI, yaitu uang yang menganggur, yang tidak bisa diapa-apakan�. Padahal, lanjut Didik, jika SBI itu dikucurkan sebagai kredit kepada masyarakat, dapat membuka lapangan kerja baru yang sangat berpotensi menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi angka pengangguran.

Dengan kondisi demikian, Didik sangat berharap pemerintah melalui Bank Indonesia di kemudian hari mampu mengeluarkan kebijakan yang ramah terhadap masyarakat dan investasi termasuk di dalamnya. �Tapi sekali lagi ditekankan agar pemerintah harus mempertimbangkan faktor kritis seperti yang sudah saya sebutkan tadi.

Sementara itu, Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR yang membidangi masalah investasi, keuangan dan sektor riil menyatakan kegagalan birokrasi mereformasi dirinya menjadi penyebab gagalnya tujuan pembangunan ekonomi Indonesia. �Dapat dikatakan kabinet Indonesia Bersatu mengalami stagnasi.

Untuk menanggulanginya, Didik menyarankan agar pemerintah mengefektifkan anggaran pembangunan yang ada di APBN. Selain itu, harus diimbangi pula oleh keberlanjutan investasi. Terakhir, ia menyebutkan peningkatan ekspor sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah pembangunan ekonomi tersebut.

(CRI)

No comments: