Apakah dunia akan resesi?

Sunday, December 10, 2006

Majalah TRUST

Beli Saham Dapat Kaveling

Nurul Kolbi dan Diah Amelia BAGI investor minoritas, aksi korporasi berupa right issue tak ubahnya buah simalakama. Membeli saham baru yang diterbitkan emiten, berarti harus menambah modal (yang belum tentu tersedia di dalam kocek). Sementara jika aksi itu diabaikan, nilai sahamnya sudah pasti akan terdilusi. Jadi berbeda dengan pemegang saham pengendali, yang sudah pasti diuntungkan. Dengan menerbitkan saham baru, perseroan akan memperoleh dana murah untuk ekspansi, menambah modal kerja, sekaligus bisa memperkecil beban utang.
Hal serupa terjadi pula pada aksi right issue yang dilakukan PT Jaka Inti Realtindo Tbk. (JIR). Untuk melunasi sebagian utang-utangnya, plus menambah modal kerja dan ekspansi usaha, JIR akan menerbitkan 3,12 miliar saham baru melalui hak memesan efek terlebih dulu (HMETD). Rasionya, setiap pemegang satu saham lama berhak atas enam bukti right untuk membeli enam saham baru.
Jika seorang pemegang 1.000 saham lama berniat memakai HMETD yang dimilikinya, maka ia harus mengeluarkan dana Rp 900 ribu. Itu untuk membeli 6.000 saham baru yang dijual dengan harga Rp 150 per saham. Di sini terlihat jelas, pemegang saham minoritas harus membayar lebih mahal. Sebab, harga saham berkode JAKA itu di Bursa Efek Jakarta hanya Rp 110 per saham (29/9).

Memang, right issue yang dilakukan JIR agak berbeda dengan penerbitan saham baru sebelumnya. Sebab, emiten ini memberikan iming-iming yang agak lain. Agar investor tertarik, perseroan menawarkan opsi bahwa pemegang saham minoritas yang melakukan right akan menerima sertifikat hak tukar (SHT). Sertifikat itu setelah dua tahun bisa dikonversi menjadi properti ataupun berupa voucher. ”Ini merupakan bentuk perlindungan bagi para investor karena saham yang mereka miliki diproteksi dengan aset,” kata Antonius Surjadi, Direktur JIR. Ia menambahkan, jika harga saham jatuh investor punya pilihan untuk menukarnya dengan properti. ”Inilah yang kami sebut win-win solution,” katanya.
Benarkah right issue dengan bumbu sertifikat hak tukar alias SHT ini merupakan aksi yang win-win solution? Ini yang masih perlu dibuktikan. Bagi pemegang saham pengendali, langkah ini jelas sangat menguntungkan. Selain bisa memperoleh dana segar, perusahaan juga bisa dengan mudah memasarkan barang dagangannya yang berupa properti. Bagi pemegang saham minoritas, keuntungan itu belum pasti.
Seperti dituturkan oleh seorang analis. Kata dia, right issue kerap merugikan investor minoritas. Biasanya, aksi ini membuat harga saham menjadi jatuh. Contoh tentang ini sudah cukup banyak. Lantas, nilai properti yang akan dijadikan sebagai obyek pertukaran (dengan saham) pun belum ketahuan harga pastinya. ”Bisa saja harga lahan atau bangunan yang akan ditukarkan dengan saham digelembungkan lebih dulu,” katanya.
Kecurigaan yang wajar, memang. Namun, tidak mudah untuk dibuktikan. Yan Mogi, Direktur Utama JIR, tak menyangkal jika right issue yang digagasnya itu merupakan jurus untuk memasarkan barang dagangannya. Menurutnya, untuk menyiasati pasar, hal itu wajar dilakukan. ”Yang utama, kepentingan investor terlindungi dan memperoleh kepastian,” katanya.

SAAT TEPAT MELEPAS SI JAKA?
Mustafa Kamil menyebut terobosan ini sebagai sesuatu yang sama sekali baru. Menurut analis PT Philip Securities ini, jika pola konversi saham dengan properti benar dijalankan, maka JIR pantas disebut sebagai pionir. ”Kalau sukses, bisa-bisa emiten lain akan mengekor sistem ini,” katanya.
Kendati tawaran ini terlihat menarik, Mustafa mewanti-wanti agar investor mengecek dulu obyek properti yang akan ditawarkan, berikut nilai pasarnya. ”Kalau misalnya tanah yang dijadikan alat tukar itu terletak di lereng gunung, ya percuma saja,” katanya.
Mustafa memang benar. Di dalam transaksi ini, untung rugi investor sangat tergantung pada kondisi properti yang dijadikan pilihan. Untuk itulah JIR menentukan bahwa yang menjadi obyek tukar dari transaksi ini adalah aset properti yang berada di bawah kelola perusahaan.
Ada tiga pilihan yang ditawarkan, yakni kaveling siap bangun (KSB) di Marina Anyer, KSB di Grand Depok City (GDC), dan sejumlah unit apartemen di Allson Jakarta. ”Luas kaveling dan tipe properti yang akan dipilih tergantung pada jumlah saham yang akan dikonversi,” kata Yan Mogi.
Jika demikian, bagaimana cara menghitungnya? Cukup sederhana. Kendati baru bisa dimiliki dua tahun kemudian, harga properti yang akan dijadikan alat tukar ternyata sudah ditentukan saat ini. Harganya itu terentang mulai dari Rp 525 ribu/m2, Rp 1,5 juta/m2, dan Rp 7,2-10 juta/m2. Masing-masing untuk kaveling siap bangun (KSB) di Marina Anyer, KSB di Grand Depok City, dan sebuah unit apartemen.
Jadi, kata Yan, dengan harga pelaksanaan (nilai investasi) sebesar Rp 150 per saham, maka untuk memiliki satu kaveling di Anyer seluas 100m2, total saham yang ditukar tak kurang dari 350 ribu saham. (lihat tabel).
Mahal atau murahkah harga kaveling itu? Sekali lagi, ini yang belum jelas. Yang pasti Yan Mogi menolak jika harga properti yang dipasarkannya itu dianggap kelewat mahal. ”Dalam menaksir harga kita menyerahkan ke sebuah tim yang lebih profesional. Karena bukan kita yang melakukan, harga itu bisa dipertanggungjawabkan,” kilahnya.
Jika saham yang dimiliki investor lebih dari yang dikonversikan, tidak usah khawatir. Sisa hak tukar dengan jumlah setara 10 ribu saham dapat dibiarkan dalam bentuk saham, atau diganti dengan voucher. Nantinya, voucher ini juga bisa dijadikan sebagai alat pembayaran ketika membeli properti milik JIR. Hanya saja, harga propertinya mengacu pada mekanisme pasar, bukan ditentukan di awal.
Nah, apabila semuanya berjalan lancar, rencananya dana hasil right issue yang ditargetkan mencapai Rp 468 miliar ini akan digunakan untuk mengakuisisi tiga perusahaan properti. Untuk mengambil alih PT Sumbermitra Sarana Realtindo (SSR) dibutuhkan dana Rp 10 miliar, PT Inti Karsa Daksa (IKD) Rp 100 miliar, dan PT Dinamika Alam Sejahtera (DAS) Rp 1 miliar. ”Sisanya akan kami alokasikan untuk melunasi sebagian utang dan menambah modal kerja untuk pengembangan usaha,” kata Yan Mogi.
Yan menambahkan, rencana right issue dan akuisisi ini dilakukan setelah perseroan berhasil mendivestasi tiga anak perusahaannya, yaitu PT Java Aneka Griya, PT Wibawa Mulia Pustaka, dan PT Waringin Mas Prakarsa.
Soal suntikan modal kerja, mantan Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (2000-2004) ini menjelaskan bahwa anggaran terbesar mengucur ke IKD sebesar Rp 260 miliar. Perinciannya, Rp 75 miliar untuk menyelesaikan 50% utang bank, Rp 84 miliar untuk melunasi sebagian dari convertible bond, dan sisanya sebesar Rp 101 miliar untuk tambahan modal kerja. Sementara PT SSR dan PT DAS masing-masing sebesar Rp 75 miliar dan Rp 9 miliar.
Kelak, pasca-right issue diharapkan komposisi pemegang saham JIR tidak banyak berubah. Perbandingannya, 30% tetap dimiliki publik. Namun, jika pemegang saham minoritas ini tidak memakai haknya, maka porsi kepemilikannya bakal terdilusi hingga tersisa 4,396%.
Soal kinerja perusahaan ini ke depan, menurut Panangian Simanungkalit, pengamat properti, sangat bergantung pada suku bunga perbankan. Jika BI Rate terus diturunkan, maka sektor ini akan kembali menggeliat. ”Dengan suku bunga yang rendah tentu akan banyak lagi peminat properti,” katanya.
Sementara tentang nasib sahamnya di bursa, Mustafa menyarankan, agar investor bersikap wait and see. Menurutnya, tiap terjadi right issue, orang kerap khawatir terjadi dilusi. Biasanya banyak investor yang memilih melepas. ”Saham semacam ini awalnya memang terdapat pelemahan. Jika kita yakin dengan prospektusnya coba tahan saja dulu,” katanya.
Seorang analis lainnya mengingatkan agar investor berkaca ke belakang. Biasanya, setelah right issue harga saham akan anjlok. Makanya, ia menyarankan agar si JAKA segera dilepas sebelum merugi lebih besar lagi. o

No comments: