Apakah dunia akan resesi?

Sunday, December 10, 2006

Majalah TRUST

Bumi yang Kembali Menggoda

Priyanto Sukandar, Dikdik Taufik Hidayat, Subhan Surya Atmaja, dan Julianto

Saham Bumi Resources memang selalu menggoda para investor. Selain volume transaksinya tergolong tinggi, perusahaan ini tergolong emiten yang kerap bikin kejutan. Masih ingat akuisisi Kaltim Prima Coal (KPC) dua tahun silam? Bagi investor kebanyakan, pencaplokan KPC tadi adalah sebuah keajaiban. Ibarat katak memakan gajah. Kenapa? Sebab, saat itu Bumi hanyalah perusahaan tambang kecil dengan likuiditas terbatas. Di mata investor pun sahamnya nyaris dilupakan. Selain sudah tidur cukup lama, saham berkode BUMI ini hanya dihargai Rp 30. Sementara KPC, yang kala itu dikuasai Rio Tinto dan BP, merupakan perusahaan batu bara terbesar di Indonesia.

Tapi, itulah hebatnya Bumi Resources. Dengan segala kontroversi yang menyelimuti transaksi senilai US$ 500 juta tersebut, perusahaan ini justru kian memesona. Maklum, akibat akuisisi KPC tadi, sahamnya yang semula hanya Rp 30, dalam tempo singkat langsung melesat ke level Rp 500. Pergerakan harga saham ini terus berlanjut. Kendati pemerintah mengharuskan divestasi saham KPC segera dilakukan, saham Bumi terus melaju kencang. Bahkan setelah 32,4% saham KPC didivestasikan ke PT Sitrade Nusaglobus Oktober lalu, harga saham Bumi melesat ke Rp 900 per saham. Dari divestasi itu, Bumi kabarnya mendapat dana senilai US$ 399 juta.

Pertanyaannya, adakah hubungan Bumi dengan Sitrade Nusaglobus? Sebab harga sahamnya justru melonjak ketika kepemilikan perusahaan ini di KPC terpangkas? Kemungkinan itu cukup terbuka. Bahkan, kabar dari lingkungan Grup Bakrie menyebutkan bahwa Sitrade tak lain dan tak bukan merupakan nominee dari keluarga Bakrie. Tapi, kabar itu buru-buru di bantah oleh Eddi C. Soebari. Menurut Direktur Keuangan Bumi ini, Sitrade dan Bumi Resources adalah dua entitas perusahaan yang berlainan.

Selesainya divestasi KPC, rupanya tidak menghentikan ambisi pemilik Bumi untuk melebarkan sayap bisnisnya. Terbukti, dalam waktu dekat mereka akan mengambil alih PT International Mineral Company (IMC) dan PT Citra Palu Mineral. Transaksi dua perusahaan yang berlokasi di Sulawesi tersebut menghabiskan dana senilai US$ 10 juta (sekitar Rp 100 miliar kurs US$ 1=Rp 10 ribu). Sekadar informasi, International Mineral Company adalah perusahaan yang dikuasai oleh BHP Billiton. Perusahaan ini menguasai 80% saham Gorontalo Minerals yang memiliki konsesi penambangan tembaga di Cagar Alam Nantu di wilayah Sulawesi.

Sedangkan Citra Palu Mineral, sebelumnya dikuasai oleh Rio Tinto. Perusahaan ini memiliki konsesi penambangan di Taman Hutan Raya Poboya Paneki, Palu, Sulawesi Tengah, seluas 561 ribu hektare. Menurut Eddi, transaksi tadi sudah selesai. Hanya saja, hingga saat ini manajemen Bumi Resources belum tahu benar kandungan emas dan tembaga di dua lokasi tambang yang baru saja diambilnya itu.

Sebagai catatan, dua lokasi tambang yang bakal dikuasai Bumi tadi berada di wilayah konservasi. Gubernur Sulawesi Tengah bahkan pernah menutup lokasi pertambangan tersebut lantaran berada di wilayah hutan lindung.

Selain mengambil alih dua perusahaan tadi, Bumi juga bakal melakukan aksi yang tidak kalah memikat. Melalui anak perusahaannya, PT Arutmin Indonesia, perseroan itu kini sedang mengincar proyek untuk memasok batu bara berkalori rendah. Dari proyek ini, Bumi berharap bisa mendapat tambahan pendapatan sebesar US$ 96 juta. Proyek ini digelar oleh PLN yang membutuhkan pasokan batu bara kalori rendah sebanyak 400.000 ton per bulan atau 4,8 juta ton per tahun. Pabrik setrum nasional itu berencana menyelenggarakan tender dengan jangka waktu pemasokan hingga 2025.


Bakal Menjadi Bumerang?

Ekspansi usaha yang terus dilakukan Bumi Resources, jelas bakal kian menggelembungkan bisnis mereka. Masalahnya, akankah transaksi dua perusahaan tambang tadi bakal kian melambungkan harga sahamnya? Isnaputra Iskandar, analis Danareksa, justru menilai pembelian yang dilakukan Bumi bakal menurunkan valuasi emiten tersebut. Soalnya, selain harganya kelewat mahal, Isna beranggapan, akuisisi itu membuat bisnis Bumi menjadi tidak fokus. “Mereka (Bumi Resources) juga tidak punya pengalaman di tambang emas dan tembaga. Sehingga akuisisi itu membawa sentimen negatif,” katanya.

Pendapat Mustafa Kamil, analis PT Phillip Securities, sami mawon. Walaupun transaksinya hanya menghabiskan US$ 10 juta, belum jelasnya kandungan emas dan tembaganya membuat hal itu bisa menjadi bumerang. Sebab, jika hasilnya tidak sesuai kajian ekonomis, harga yang dibayar Bumi menjadi sangat mahal. Tapi, kata Mustafa, pembelian dua tambang tadi bisa membawa dampak positif pula. Paling tidak jika kandungannya cukup besar, pendapatan Bumi bakal kian menanjak. Apalagi harga emas kini sedang tinggi-tingginya. Bulan lalu, harganya bahkan mencapai rekor tertinggi, US$ 500 per troy once.

Mungkin itu sebabnya, Eddi begitu optimistis aksi korporasi yang dilakukan perusahaannya bakal berimbas positif. Setidaknya, kini perusahaannya telah melakukan diversifikasi produk. “Kami ingin menjadi perusahaan tambang yang komplet. Mungkin harganya mahal, tapi kami yakin prospeknya bagus,” tegasnya. Eddi menambahkan, untuk melunasi transaksi dua perusahaan tambang tersebut, Bumi akan mengambil dana internal. Tapi sumber TRUST di lingkungan Bakrie menyebutkan, dana tadi diperoleh dari repo saham perseroan.

Seorang manajer investasi membenarkan bahwa Bumi cukup gencar menawarkan repo sahamnya. Iming-iming bunga yang ditawarkan pun cukup tinggi, di kisaran 16%-18% setahun. Nah, bila benar transaksi tadi didanai dari repo, sudah barang tentu beban Bumi bakal melonjak. Sebab, repo termasuk instrumen utang. Memang, di laporan keuangan akhir 2005, pembengkakan utang tadi tidak akan kelihatan. “Baru pada kuartal pertama atau kedua akan terlihat perbedaannya,” kata si sumber.

Hanya saja, bagi investor, sumber pendanaan tadi tidak terlalu dihiraukan. Terlebih lagi berkembang informasi bahwa perusahaan ini juga berniat untuk melakukan buy back sahamnya. Inilah yang kemudian membuat saham Bumi yang tadinya lesu dan sempat melorot ke level Rp 670 awal Desember, kini berada di level Rp 760 (16/12). Kendati, seorang analis di sekuritas asing mengingatkan, kenaikan itu sifatnya hanya sesaat akibat technical rebound.

Analis tadi bahkan memperkirakan kinerja Bumi bakal tertekan. Ini lantaran harga jual batu bara di pasar spot internasional turun. Bila di awal tahun harganya mencapai US$ 62 per ton, kini cuma US$ 37,6 per ton. Sudah begitu, akibat membengkaknya harga BBM, biaya yang harus dikeluarkan Bumi meningkat 94% menjadi Rp 738 miliar. Hingga akhir 2005, Bumi diperkirakan akan menghasilkan 43,2 juta ton batu-bara. Tambang KPC menghasilkan 27,5 juta ton emas hitam dengan harga jual rata-rata US$ 43,66 per ton. Sedangkan Arutmin menghasilkan 15,7 juta ton dengan harga jual rata-rata US$ 34,75 per ton.


Hanya saja, menurut Mustafa, akuisisi dua perusahaan tambang tadi bakal mengangkat kembali pamor Bumi. Analis ini bahkan meyakini saham emiten ini bisa melaju ke posisi Rp 1.000.

No comments: