Korupsi Proyek Double-Double Track Segera Disidangkan
Berita
Korupsi Proyek Double-Double Track Segera Disidangkan
[15/1/07]
Berkas kasus korupsi proyek double-double track sekitar 80 persen telah diselesaikan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kabarnya, pemerintah Jepang menyoroti langsung perkara ini.
Kasus korupsi dan manipulasi data pembangunan rel ganda (double-doube track-DDT) kereta api Manggarai-Cikarang rencananya akan segera disidangkan akhir bulan ini. Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menyatakan siap memperkarakan Yoyo Sulaeman sebagai pimpinan proyek (pimpro) DDT dan Iskandar Rasyid sebagai bendahara proyek DDT ke meja hijau.
Kasus ini bermula dari temuan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP menemukan penyimpangan dana sebesar Rp 33 miliar dalam penggunaan anggaran sejak tahun 2002-2005. Kasus ini juga sudah dilaporkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Marwan Batubara ke Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya beberapa kalangan menilai, penuntasan kasus korupsi proyek DDT tidak jelas. Padahal pemimpin proyek dan bendaharanya sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2005. Yoyo dan Iskandar sendiri saat ini sudah ditahan sejak 2 Nopember 2006 lalu di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Karena lambannya proses penyidikan ini beberapa waktu yang lalu sejumlah perwakilan warga Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, mendatangi Kejati DKI Jakarta. Mereka meminta kejelasan penuntasan kasus tersebut.
�Rumah kami telah digusur. Padahal jelas-jelas terjadi korupsi dalam pembebasan lahan kami,� ujar Iswadi, yang mengaku sebagai perwakilan warga. Hingga kini, lanjut Iswadi, masih ada 25 kepala keluarga (KK) dari RW 06, RT 12, 13, dan 14 yang bertahan. Mereka menuntut ganti rugi sesuai yang dijanjikan pemerintah.
Menurutnya, ada beberapa warga yang menerima ganti rugi sekitar Rp 20 juta, tapi ternyata di kwitansi tertulis Rp 60 juta. Selain itu, lanjut Iswadi, dalam kwitansi juga terlihat adanya pemalsuan tanda tangan. Bahkan warga yang di KTP-nya menggunakan cap jempol, dalam kwitansi penerimaan menggunakan tanda tangan. Tidak hanya itu rumah warga yang tidak bertingkat dinyatakan bertingkat.
Selain warga, pihak yang juga menyoroti kasus ini adalah pemerintah Jepang. Soalnya, pemerintah negeri sakura ini turut andil dalam pembiayaan mega proyek tersebut. Bahkan, kabar yang beredar menyebutkan kalau pemerintah Jepang berupaya mengintervensi kasus ini. Setidaknya, dalam setiap pemeriksaan perkara kasus korupsi ini, beberapa wartawan dari Jepang selalu mendatangi Kejati DKI Jakarta.
Lamanya penyidikan ini menurut Herry H. Roro, Kasubsi Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta, disebabkan proses verifikasi data yang membutuhkan waktu cukup lama. �Laporan BPKP sudah keluar. Ini yang bikin lama penyidikan, karena kita harus periksa satu persatu dokumen yang ada di BPKP. Kita tidak bisa asal menebak. Apalagi tanah yang sudah dibayarkan sudah digusur semua,� paparnya.
Herry juga membenarkan kalau telah terjadi manipulasi data pembebasan dan penertiban tanah yang dilakukan oleh Yoyo Sulaeman Iskandar Rasyid. Menurutnya, data yang dimanipulasi cukup banyak. �Ada ratusan data,� ujar Herry.
Selain manipulasi, kasus lain yang dilakukan oleh Yoyo dan rekannya itu adalah penggelembungan dana (mark up) dan ada pembuatan dokumen fiktif. Di dalam mark up dan pembuatan dokumen fiktif itu terdapat juga tindakan pemalsuan.
Herry menjelaskan, dari hasil penyidikan yang dilakukan mulai awal 2006 lalu, didapatkan bukti yang menunjukkan bahwa Yoyo telah menerima dana dari Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) sebesar Rp 105.970.999.645,00. Dari jumlah itu sekitar Rp 33 miliar aliran dananya tidak jelas. �Kasusnya sendiri ada yang pembebasan tanah dan penertiban. Untuk penertiban total dana Rp 28 miliar sementara dokumen yang fiktif dan di mark up sekitar Rp 5 miliar,� papar Herry.
Menurut Herry, pihaknya akan menjerat pelaku dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan.
UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Banyak kepentingan
Menurut informasi yang diperoleh Hukumonline, proyek yang pendanaannya berasal dari APBN sebesar Rp 650 miliar itu seharusnya sudah rampung akhir tahun ini. Namun, berbagai persoalan muncul dalam proyek tersebut. Sejak masih berupa rencana, proyek tersebut sudah berselimutkan kepentingan. Melihat dana yang dianggarkan sangat besar, banyak kelompok-kelompok yang ingin mengambil kepentingan. Entah itu pejabat, politisi maupun pengusaha.
Ketika paket-paket proyek masih dalam tahap ditenderkan, ternyata dalam pelaksanaannya banyak penyimpangan seperti diatur dalam keppres. Karena, tender yang dilakukan hanya pura-pura, yang terjadi cuma penunjukan langsung. Bahkan, pemenangnya sebagian besar justru di bawah kontrol pimpro alias hanya sebagai boneka saja. Pemenang tender justru pimpronya sendiri yang penggarapannya menggunakan nama orang lain.
Selain itu, bahan yang digunakan juga banyak yang menyimpang dari bestek atau master plan yang telah disepakati. Ambil contoh, soal penggunaan penambat yang berfungsi sebagai kancing rel dengan bantalan beton, seharusnya menggunakan pendrol. Tapi, kenyataannya menggunakan klip yang kualitasnya sangat rendah. Tentu saja harganya juga lebih murah.
Belum lagi soal besarnya tingkat kebocoran anggaran. �Tidak sedikit anggaran dikeluarkan untuk hal lain yang tidak ada kaitan dengan pembangunan,� ujar seorang pemberhati masalah DDT kepada Hukumonline yang tidak bersedia disebut namanya. Misalnya, ujarnya untuk nyangoni DPR yang melakukan kunjungan, amplop untuk pemeriksa internal Departemen Perhubungan, amplop untuk auditor dan fee proyek untuk pejabatnya.
(CRM)
No comments:
Post a Comment